Thursday, 1 September 2016

The Adventures of Media

(Paulina Damayanti)

Bicara tentang media massa, media sosial, dan produk-produk media memang tidak ada habisnya. Produk-produk media massa ataupun new media (internet) termasuk sosial media di dalamnya sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, yang rasanya hidup tak lengkap kalau sehari saja tidak mengakses media.
 Kali ini bolehlah saya mengutip kata-kata dari Malcolm, The media’s the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty, and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the mind of the masses. Hal itu menandakan bahwa pengaruh media sangat besar bagi kehidupan kita. Secara tidak sadar kita dikonstruksi oleh media yang kita konsumsi sehari-hari, you are what you watch or you are what you read.
Sebagai contoh, saya mencoba untuk melihat salah satu produk media, yaitu kartun satir berjudul The Adventures of Media Lapdog for Obama, yang diambil dari website People’s Cube. Tujuannya adalah memaknai pesan dibalik media tersebut. Kita harus sadar bahwa selalu ada ‘pesan’ dibalik media, bahwa kelompok dominan selalu berhasil menggiring opini karena mereka mayoritas, juga kelompok lainnya yang berjuang dengan ideologi mereka yang mencoba melawan kekuatan dominasi. Berikut ulasannya :

Autor
The Lapdog for Obama, diambil dari website People’s Cube. Website tersebut adalah komunitas humor politik di Amerika Serikat (AS), yang membuat cerita kartun satir untuk mengkritisi pemerintah dan para tokoh politik AS. Penulis dan pemilik website tersebut adalah Oleg Atbashian.
Sebelum pindah ke AS pada tahun 1994, Atbashian tinggal di Ukraina, ia bekerja sebagai seniman propaganda Uni Soviet, membuat poster propaganda politik dan agitprop visual untuk Komite Partai lokal di Siberia. Selama waktu itu, Oleg menyaksikan dan merasakan sendiri transisi republik Uni Soviet (Negara komunis) dari sosialisme, kleptokrasi dan korupsi.
Pada tahun 1994 ia pindah ke AS dengan harapan hidup di negara liberal, menghargai kebebasan dan kemakmuran. Namun Oleg kecewa karena liberalisasi di Amerika yang liberty & equal tidak seperti ekspektasi dia, sehingga ia aktif melakukan kritik terhadap pemerintah. Terutama ia mengkritisi kandidat calon Presiden dari partai demokrat, yaitu Obama. Aktivisme Oleg ini berkembang, memanfaatkan new media, yaitu dengan website yang diberi nama website People’s Cube.
People’s Cube mengkonstruksi pesan dengan menggunakan kartun tokoh Obama dan seekor anjing. Anjing tersebut menggambarkan media Amerika yang memiliki karakter lapdog (anjing pangkuan), dan tidak menjalankan fungsinya sebagai watch dog (anjing pengawas). Media dianggap memihak Obama (waktu itu sebagai calon Presiden Amerika 2008, dari partai Demokrat).

Konten
Dari segi format, kartun The Lapdog for Obama di website People’s Cube memiliki warna dominan merah. Warna merah yang dominan dan seragam, sewarna, merupakan ciri komunis yaitu diseragamkan. Seperti diambil dari Story of the Red Flag (situs Partai Komunis Revolusioner Amerika Serikat) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20, kata ‘merah’ memiliki kaitan erat dengan ideologi komunis. Setelah Revolusi Bolshevik pada 1917, merah menjadi warna bendera nasional Uni Soviet, hingga akhir masa hidup negara tersebut pada 1991.
Dalam mitologi Soviet, merah dianggap sebagai warna darah yang ditumpahkan oleh kelas pekerja dalam perjuangannya melawan penindasan kapitalisme. Bendera merah dalam dunia politik adalah simbol politik sayap kiri, terutama sosialisme dan komunisme. Bendera ini telah dikaitkan dengan politik sayap kiri sejak meletusnya Revolusi Perancis (Story of the Red Flag, 2006).
Judul kartun tersebut adalah The Adventures of Media Lapdog for Obama, kata ‘media’ ditulis dengan warna merah, seperti yang dijabarkan diatas, bahwa warna merah adalah simbol komunis. Oleg menganggap bahwa media tak ada bedanya dengan kaum komunis dan sosialis, yang menjadi agen propaganda dan pembentuk citra positif Obama.
Obama dan media bekerjasama untuk meraih kekuasaan (power) dengan cara menarik simpati dari publik Amerika dan dunia. Hal tersebut dinilai Oleg sebagai konspirasi yang merugikan masyarakat yang seharusnya memiliki hak untuk mendapatkan liberty & equal.
Judul artikel adalah Media the Lapdog for Obama, sangat lugas dan langsung dapat dipahami bahwa media di Amerika yang seharusnya memiliki peran sebagai pilar ke-4 negara (yudikatif, eskutif, legislatif, dan media sebagai watch dog), namun justru media menjadi lapgog (anjing pangkuan).
Desain gambar yang dipilih memperlihatkan anjing (merepresentasikan media), yang selalu menempel Obama. Kartun tersebut mengkonstruksi pesan bahwa media memiliki fungsi lap dog (anjing pangkuan). Dalam model ini, pers memproduksi berita untuk melayani kepentingan elite politik dan elite ekonomi saja.
Oleg mengkritisi media Amerika yang menjadi lapdog Obama, terutama sejak kampanye Presiden 2008, hingga akhirnya Obama terpilih menjadi Presiden Amerika. Keberhasilan Obama menjadi Presiden AS tak lepas dari peran media yang mengcover isi berita tentang Obama (tentu hanya konten-konten positif saja yang ditulis). Sehingga timbal baliknya, media memiliki pengaruh dan kekuatan untuk menyetir pemerintah, terutama adalah menyangkut regulasi dan kapitalisasi media.
Konsekuensinya adalah, peran dari jurnalisme warga, kebebasan menyatakan pendapat terkubur oleh kekuatan yang dimiki oleh korporasi media yang besar.

Kesimpulan
Kartun di website People’s Cube tersebut merupakan salah satu produk media, yang diproduksi untuk kepentingan tertentu. Kartun tersebut ditujukan untuk mengkritik media (pers) yang telah mengambil posisi sebagai lap dog. Pada era sekarang ini, pers lap dog tidak semata-mata menghamba kepada pemerintah, tetapi juga kepada korporasi besar.
Model fungsi lap dog (anjing pangkuan) yang digambarkan oleh kartun ‘The Adventures of Media Lapdog for Obamamerupakan gambaran nyata yang benar-benar terjadi di era kebabasan pers ini. Dalam model ini, pers memproduksi berita untuk melayani kepentingan elite politik dan elite ekonomi.
Mengapa media menjadi lapdog? persaingan media yang sangat ketat, mengakibatkan pertumbuhan media menjadi tidak sehat. Persaingan untuk mendapat kue iklan semakin ketat. Akibatnya, pers yang tidak kebagian jatah iklan mencari cara lain untuk merebut setetes rezeki. Ini dapat dilihat dalam kasus, pers yang menjual headline atau agenda setting untuk kepentingan korporasi atau elite tertentu. Sehingga timbal baliknya, media memiliki pengaruh dan kekuatan untuk menyetir pemerintah, terutama adalah menyangkut regulasi dan kapitalisasi media. Konsekuensinya adalah, peran dari jurnalisme warga, kebebasan menyatakan pendapat terkubur oleh kekuatan yang dimiki oleh korporasi media yang besar.
Semoga kita dapat lebih bijak dalam mengkonsumsi ataupun memproduksi media, dan memiliki literasi media yang baik (melek media). Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar kita tidak mudah terpengaruh ataupun terprovokasi oleh media baik itu cetak, elektronik ataupun new media (internet), karena tidak semua produk media itu terjamin akurasinya dan tidak semua produk media baik untuk kita konsumsi. 

Wednesday, 4 May 2016

DIBALIK BANJIRNYA FILM SUPERHERO HOLLYWOOD HINGGA 2020


(Paulina Damayanti)

Sejak tahun 2015 lalu, secara berturut-turut kita disuguhi berbagai film superhero Hollywood yang rilis secara berdekatan. Masa kejayaan film-film superhero tersebut jelas belum akan berakhir dalam waktu dekat ini, Hollywood akan merilis hampir 30 film superhero yang siap rilis hingga tahun 2020 nanti. Mengapa film superhero terus dibuat Hollywood?


Bukanlah hal yang kebetulan ketika Hollywood secara besar-besaran memproduksi berbagai film bertema superhero secara beruntun dari tahun 2015 hingga 2020 mendatang. Bisa dipastikan selama lima tahun kedepan, bioskop kita makin disesaki film-film superhero. Warner Bros yang memiliki hak atas tokoh superhero DC Comics, Disney pemilik Marvel, serta Fox dan Sony yang memiliki beberapa tokoh-tokoh kunci Marvel siap merilis hampir 30 film superhero.

Tahun 2015 lalu, masih lekat diingatan kita, secara berdekatan rilis berbagai film bertema superhero, seperti Avengers: Age of Ultron (1 Mei), Ant-Man (17 Juli), dan The Fantastic Four (7 Agustus). Diawal tahun 2016 ini muncul Deadpool (12 Februari), dan pada bulan Maret DC memulai seri cross-over Justice League lewat Batman, Superman, Wonder Woman, dan Aquaman dalam satu layar lewat Batman vs Superman: Dawn of Justice. Kemudian disusul film Captain America 3 (26 April), X-Men: Apocalypse (27 Mei), Suicide Squad (5 Agustus), The Sinister Six (11 Agustus). Awal tahun 2017 akan dirilis film Wolverine terbaru (3 Maret), Wonder Woman (23 Juni), The Fantastic Four 2 (14 Juli), Guardians of the Galaxy 2 (28 Juli), Justice League, Part One (17 November). Dan berbagai judul film lainnya, hingga tahun 2020 ditutup dengan film produksi DC, Cyborg (3 April) dan Green Lantern (19 Juni).

Rilis Hollywood untuk berbagai film superhero hingga lima tahun ke depan sekilas menjadi kabar gembira bagi kita, terutama para pecinta seri Marvel dan DC, namun bila kita cermati, film-film fiksi tersebut tidak hanya menghibur, tetapi banyak pesan dan informasi yang disampaikannya, bahkan secara tidak sadar pesan tersebut terekam dalam memori kita. Film mampu membangun keterikatan emosi pada penontonnya, sehingga bila dipaparkan terus-menerus penonton menjadi fanatik, bahkan secara tidak sadar dapat merubah ideologi, sifat, dan karakter kita sesuai dengan apa yang disampaikan film tersebut.

Sejak abad 19, film telah menjadi bagian dari hidup kita, yang telah berkembang dari pertunjukan keliling menjadi salah satu alat penting komunikasi dan hiburan serta media massa pada abad 21 sekarang ini. Film merupakan produk kebudayaan manusia yang dianggap berdampak besar bagi masyarakat dan merupakan salah satu bentuk seni, sumber hiburan dan alat yang ampuh untuk mendidik serta mengindoktrinasi para penontonnya.

Demikian halnya dengan berbagai film bertema superhero produksi Hollywood.  Pada awal berkembangnya sebelum diangkat ke layar bioskop, komik superhero memang tak lepas dari misi sosial politis. The Action Comic, komik yang pertama kali memperkenalkan Superman sebagai superhero pada tahun 1938, muncul sebagai kritik terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat saat mengalami The Great Depression. Superhero tidak digambarkan melawan alien atau supervillain, namun bertarung melawan pelecehan terhadap wanita dan pemerintahan yang korup.

Ketika Perang Dunia II merebak. Dunia superhero ikut ambil bagian. Superman, Captain America, dan superhero lainnya menjalani misi propaganda sebagai agen patriot pemerintah Amerika. Misi yang bertolak belakang saat awal mereka dikenalkan. Kemudian Amerika Serikat memiliki presiden keturunan Afrika-Amerika pertama mereka. Feminisme, persamaan gender, dan keberagaman menguat di negeri tersebut. Perkembangan sosial politis ini juga turut menjadi inspirasi bagi dunia komik. Beberapa waktu belakangan muncul versi-versi alternatif dari superhero kenamaan lintas ras dan gender.

Jika dilihat, tren film superhero tahun 2016 ini bertema superhero melawan superhero. Misalnya saja dari kubu DC dengan Batman vs Superman serta film animasi Justice League vs Teen Titans. Marvel juga tidak mau kalah dengan tema serupa, melalui Marvel Cinematic Universe mereka menghadirkan film bertajuk Captain America: Civil War. Pesan sosial yang terkandung di dalamnya adalah bahwa perbedaan pendapat, pola pikir, apa yang diyakini benar dalam suatu tim, bahkan orang yang sudah dianggap sebagai sahabat atau keluarga dekat akan mungkin timbul perpecahan internal.

Baik itu film Batman vs Superman ataupun Captain America: Civil War sendiri mencoba mengangkat krisis dari berjayanya para superhero tersebut ketika mereka melakukan penyelamatan gemilang dari ancaman yang mampu menghancurkan kelangsungan hidup umat manusia. Namun, catatan hitam dari event tersebut adalah: korban jiwa tidak bisa dihindarkan. Meskipun masyarakat dan dunia tau bahwa keberadaan superhero sangat berjasa untuk mereka, namun status mereka sebagai organisasi privat yang tidak terikat oleh politik dan pemerintahan menjadikan warga cemas bahwa tidak ada yang mengawasi dan mengontrol mereka. Pada akhirnya, film tersebut menggambarkan, bahwa tetap para superhero itulah yang dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran, sedangkan pemerintah dan militer selalu menjadi pihak yang terdesak dan lemah.

Film-film superhero yang secara beruntun diproduksi oleh Hollywood hingga tahun 2020 tersebut menjadi kritik terhadap situasi sosial politik dan pemerintahan di Amerika, terutama ditengah-tengah perseteruan panas pemilihan presiden Amerika tahun ini. Bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah, mereka mendambakan seorang ‘superhero’ sesungguhnya yang dapat mengentaskan kesengsaraan masyarakat secara cepat tanpa banyak pertimbangan birokrasi. Dengan hadirnya superhero tersebut, seolah-olah masyarakat merayakan utopia pembebasan dan kemerdekaannya dari berbagai bentuk kemusnahan dan kejahatan dunia seperti terbebas dari terorisme, pelecehan seksual, perampokan, pembunuhan, pemerintahan yang korup dan diskriminasi.

Semoga film-film superhero yang akan kita nikmati selama lima tahun ke depan tersebut tidak hanya dapat menghibur kita, namun juga dapat menjadi bahan refleksi kita terhadap berbagai permasalah sosial, politik dan budaya di sekitar kita. Kita sebagai penikmat film juga sebaiknya lebih kritis dalam mengkonsumsinya, karena tidak semua hal yang dianggap baik menurut ideologi film itu benar, dan sesuatu yang dianggap benar belum tentu baik untuk kita.

FORMULA KEBERUNTUNGAN

The best luck of all is the luck you make for yourself (Douglas MacArthur)   Kita mungkin pernah tau bahwa di dunia ini ada jenis manusi...