(Paulina Damayanti)
Sejak tahun 2015 lalu,
secara berturut-turut kita disuguhi berbagai film superhero Hollywood yang
rilis secara berdekatan. Masa kejayaan film-film superhero tersebut jelas belum
akan berakhir dalam waktu dekat ini, Hollywood akan merilis hampir 30 film
superhero yang siap rilis hingga tahun 2020 nanti. Mengapa film superhero terus
dibuat Hollywood?
Bukanlah hal yang kebetulan ketika Hollywood secara besar-besaran memproduksi berbagai film bertema superhero secara beruntun dari tahun 2015 hingga 2020 mendatang. Bisa dipastikan selama lima tahun kedepan, bioskop kita makin disesaki film-film superhero. Warner Bros yang memiliki hak atas tokoh superhero DC Comics, Disney pemilik Marvel, serta Fox dan Sony yang memiliki beberapa tokoh-tokoh kunci Marvel siap merilis hampir 30 film superhero.
Tahun 2015
lalu, masih lekat diingatan kita, secara berdekatan rilis berbagai film bertema
superhero, seperti Avengers: Age of Ultron (1 Mei), Ant-Man (17 Juli), dan The
Fantastic Four (7 Agustus). Diawal tahun 2016 ini muncul Deadpool (12 Februari),
dan pada bulan Maret DC memulai seri cross-over Justice League lewat Batman,
Superman, Wonder Woman, dan Aquaman dalam satu layar lewat Batman vs
Superman: Dawn of Justice. Kemudian disusul film Captain America 3 (26 April), X-Men:
Apocalypse (27 Mei), Suicide Squad (5 Agustus), The Sinister Six (11 Agustus).
Awal tahun 2017 akan dirilis film Wolverine terbaru (3 Maret), Wonder Woman (23
Juni), The Fantastic Four 2 (14 Juli), Guardians of the Galaxy 2 (28 Juli), Justice
League, Part One (17 November). Dan berbagai judul film lainnya, hingga tahun
2020 ditutup dengan film produksi DC, Cyborg (3 April) dan Green Lantern (19
Juni).
Rilis
Hollywood untuk berbagai film superhero hingga lima tahun ke depan sekilas
menjadi kabar gembira bagi kita, terutama para pecinta seri Marvel dan DC,
namun bila kita cermati, film-film fiksi tersebut tidak hanya menghibur, tetapi
banyak pesan dan informasi yang disampaikannya, bahkan secara tidak sadar pesan
tersebut terekam dalam memori kita. Film mampu membangun keterikatan emosi pada
penontonnya, sehingga bila dipaparkan terus-menerus penonton menjadi fanatik,
bahkan secara tidak sadar dapat merubah ideologi, sifat, dan karakter kita
sesuai dengan apa yang disampaikan film tersebut.
Sejak abad
19, film telah menjadi bagian dari hidup kita, yang telah berkembang dari pertunjukan
keliling menjadi salah satu alat penting komunikasi dan hiburan serta media massa
pada abad 21 sekarang ini. Film merupakan produk kebudayaan manusia yang
dianggap berdampak besar bagi masyarakat dan merupakan salah satu bentuk seni,
sumber hiburan dan alat yang ampuh untuk mendidik serta mengindoktrinasi para
penontonnya.
Demikian halnya dengan berbagai film bertema superhero produksi
Hollywood. Pada awal berkembangnya
sebelum diangkat ke layar bioskop, komik superhero
memang tak lepas dari misi sosial politis. The Action Comic, komik yang
pertama kali memperkenalkan Superman sebagai superhero pada tahun
1938, muncul sebagai kritik terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat
saat mengalami The Great Depression.
Superhero tidak digambarkan melawan alien atau supervillain, namun bertarung
melawan pelecehan terhadap wanita dan pemerintahan yang korup.
Ketika
Perang Dunia II merebak. Dunia superhero ikut ambil bagian. Superman,
Captain America, dan superhero lainnya menjalani misi propaganda sebagai
agen patriot pemerintah Amerika. Misi yang bertolak belakang saat awal mereka
dikenalkan. Kemudian Amerika Serikat memiliki presiden keturunan Afrika-Amerika
pertama mereka. Feminisme, persamaan gender, dan keberagaman menguat di negeri
tersebut. Perkembangan sosial politis ini juga turut menjadi inspirasi bagi
dunia komik. Beberapa waktu belakangan muncul versi-versi alternatif
dari superhero kenamaan lintas ras dan gender.
Jika
dilihat, tren film superhero tahun 2016 ini bertema superhero melawan superhero.
Misalnya saja dari kubu DC dengan Batman vs Superman serta film animasi Justice
League vs Teen Titans. Marvel juga tidak mau kalah dengan tema serupa, melalui
Marvel Cinematic Universe mereka menghadirkan film bertajuk Captain America:
Civil War. Pesan sosial yang terkandung di dalamnya adalah bahwa perbedaan
pendapat, pola pikir, apa yang diyakini benar dalam suatu tim, bahkan orang
yang sudah dianggap sebagai sahabat atau keluarga dekat akan mungkin timbul
perpecahan internal.
Baik
itu film Batman vs Superman ataupun Captain America: Civil War sendiri mencoba
mengangkat krisis dari berjayanya para superhero tersebut ketika mereka
melakukan penyelamatan gemilang dari ancaman yang mampu menghancurkan
kelangsungan hidup umat manusia. Namun, catatan hitam dari event tersebut
adalah: korban jiwa tidak bisa dihindarkan. Meskipun masyarakat dan dunia tau
bahwa keberadaan superhero sangat berjasa untuk mereka, namun status mereka
sebagai organisasi privat yang tidak terikat oleh politik dan pemerintahan menjadikan
warga cemas bahwa tidak ada yang mengawasi dan mengontrol mereka. Pada
akhirnya, film tersebut menggambarkan, bahwa tetap para superhero itulah yang
dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran, sedangkan pemerintah dan militer
selalu menjadi pihak yang terdesak dan lemah.
Film-film
superhero yang secara beruntun diproduksi oleh Hollywood hingga tahun 2020
tersebut menjadi kritik terhadap situasi sosial politik dan pemerintahan di
Amerika, terutama ditengah-tengah perseteruan panas pemilihan presiden Amerika
tahun ini. Bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah, mereka
mendambakan seorang ‘superhero’ sesungguhnya yang dapat mengentaskan
kesengsaraan masyarakat secara cepat tanpa banyak pertimbangan birokrasi.
Dengan hadirnya superhero tersebut, seolah-olah masyarakat merayakan utopia
pembebasan dan kemerdekaannya dari berbagai bentuk kemusnahan dan kejahatan
dunia seperti terbebas dari terorisme, pelecehan seksual, perampokan,
pembunuhan, pemerintahan yang korup dan diskriminasi.
Semoga
film-film superhero yang akan kita nikmati selama lima tahun ke depan tersebut
tidak hanya dapat menghibur kita, namun juga dapat menjadi bahan refleksi kita
terhadap berbagai permasalah sosial, politik dan budaya di sekitar kita. Kita
sebagai penikmat film juga sebaiknya lebih kritis dalam mengkonsumsinya, karena
tidak semua hal yang dianggap baik menurut ideologi film itu benar, dan sesuatu
yang dianggap benar belum tentu baik untuk kita.
Nice article, Paulina 😉
ReplyDeleteBravo MCU! Hehe
Nice article, Paulina 😉
ReplyDeleteBravo MCU! Hehe
Sangar tenan anak blog. Haha.. 👍👍👍
ReplyDeleteSangar tenan anak blog. Haha.. 👍👍👍
ReplyDelete:)
ReplyDeleteKeren abiss... Saya jdi mikir, jgn2 sinetron indonesia menggambarkan dg jelas bgaimana konteks indonesia saat ini. Artikel ini jika dikaitkan dg isu2 global or isu2 sosial indonesia pasti menarik juga.
ReplyDelete