Tuesday, 10 April 2018

Budaya Internet dan Globalisasi

Source pinterest

The world is flat! dunia semakin datar. Jarak bukanlah menjadi kendala untuk berkomunikasi dan mengakses informasi. Kelahiran internet telah membuka mata dunia, berbagai informasi mulai dari politik, ekonomi, sosial hingga fashion dari belahan benua lain sekalipun dapat diakses hanya dengan hitungan detik saja. Bayangkan saja, model fashion terbaru musim ini dari Domenico Dolce dan Stefano Gabbana, Marc jacob, ataupun Christian Dior dari pusat mode dunia di Paris, Italia, ataupun Milan, dapat kita ketahui hanya dengan hitungan detik saja melalui internet, tanpa kita harus bersusah payah pergi ke Paris, Italia ataupun Milan untuk melihatnya.

Model-model baju terbaru, model sepatu, trent rambut dunia yang sedang populer saat ini, makanan tradisional dari belahan dunia manapun, kendaraan terbaru, perangkat teknologi tercanggih, budaya-budaya populer seperti K-Pop, dalam hitungan hari semua itu dapat menjadi tren dunia, dapat diterima dan diadopsi secara global. Tren dunia tersebut akhirnya masuk dan diterima secara global menjadi tren karena peran media massa dan internet, film, ataupun buku yang menyebarkannya. Hal tersebut disebut sebagai globalisasi. Globalisasi yaitu perubahan budaya terkait dengan teknologi, informasi, komunikasi dan gaya hidup, yang memiliki sifat menyeluruh, diterima di seluruh belahan dunia manapun.
Dalam sejarahnya, globalisasi, pertama kali diungkapkan oleh Theodore Levitte pada tahun 1985, dalam hal ini globalisasi menunjuk pada sistem politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Sekitar tahun 1985 globalisasi mulai muncul dengan adanya revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik pada waktu itu dapat melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Sedangkan disintegrasi negara-negara komunis, menjadi motor globalisasi karena disintegrasi negara komunis memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global pada waktu itu.
Globalisasi semakin meluas hingga ke seluruh dunia ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi. Sehingga, globalisasi telah membawa perubahan perilaku terhadap kehidupan masyarakat, baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Salah satu contoh globalisasi adalah dalam bidang komunikasi. Friedman (2005) menyebutkan globalisasi komunikasi adalah kemampuan untuk menyediakan dan mengakses informasi dalam berbagai latar belakang budaya dengan cara berbicara, mendengarkan, atau membaca dan menulis. Di era globalisasi ini, kemampuan bahasa global (bahasa Inggris, Mandarin) sangat diperluakan untuk pergaulan Internasional, terutama untuk urusan bisnis, kerjasama kenegaraan, ataupun pendidikan dan penelitian.
Bentuk globalisasi selanjutnya adalah globalisasi media. Globalisasi media massa yaitu persebaran atau serbuan media massa baik surat kabar, majalah, televisi ataupun radio ke seluruh dunia. Apabila globalisasi media tidak diantisipasi dengan baik, akan terjadi benturan antar budaya lokal dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Contoh globalisasi media yang mulai masuk ke Indonesia yaitu munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : majalah Playboy, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him Magazine), Good Housekeeping, Trax dan sebagainya. Demikian halnya dengan acara televisi dan radio, di Indonesia telah banyak program-program acara produksi Amerika, Eropa dan beberapa negara Asia versi Indonesia, seperti tayangan Indonesian Idol, X-Factor, Mater Chef, drama korea, telenovela, dan lain sebagainya.
Selain globalisasi komunikasi dan globalisasi media, globalisasi teknologi juga memberikan efek besar terhadap perubahan budaya dan kemajuan bidang ekonomi suatu Negara. Globalisasi teknologi yaitu lahir dan berkembangnya berbagai macam teknologi yang memudahkan pekerjaan manusia, teknologi baik dalam bidang komunikasi, pertanian, ataupun industri. Masuk, berkembang dan diadopsinya berbagai macam perangkat teknologi ke Indonesia menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Negara. Sebut saja berbagai macam perangkat teknologi komunikasi buatan Amerika seperti iPhone, iPad, iPod, dan Negara Korea dengan produk Samsung android yang merajai pasar dunia. Adanya perkembangan teknologi komunikasi tersebut menjadikan jarak tak berarti. Setiap orang bisa berkomunikasi dan mengakses informasi dimanapun dan kapanpun juga secara cepat dan mudah.
Globalisasi lahir sebagai perwujudan upaya atau  respon manusia untuk dapat menaklukkan dan mengolah alam dan segala tantangan dunia (challenge) demi kelangsungan hidupnya. Globalisasi semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Sehingga dapat mempermudah kerja manusia, secara efesien dan produktif
Sering kita mengidentikkan globalisasi dengan perkembangan dalam bidang ekonomi, Namun walaupun demikian, secara tidak langsung globalisasi juga mempengaruhi transformasi masyarakat menuju cybercultureGlobalisasi merupakan salah satu pendorong berkembangnya cyberculture (budaya cyber/internet). Cyberculture menurut Manovich dalam buku The New Media Reader adalah budaya yang muncul dari penggunaan jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan dan bisnis. Cyberculture menyangkut hubungan antar manusia, komputer dan kepribadian yang dilakukan di dunia maya.
Beberapa ciri cyberculture yang berkembang di Indonesia dapat diketahui sebagai berikut: komunikasi global berkembang sangat cepat, meretas batasan jarak dan waktu, dapat dilihat dari perkembangn barang-barang seperti munculnya media digital, telpon selulertelevisi satelit,  dan internet; Perdagangan internasional, perusahaan multinasional dan dominasi organisasi semakin berkembang dan menjadikan pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung satu dengan yang lain; Media massa menjadi pendorong tumbuhnya interaksi cultural antar bangsa. Berbagai macam budaya asing mulai masuk dan berkembang di Indonesia, misalnya dalam bidang  fashionmakanan, lagu dan film.
Globalisasi  dan cyberculture mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Friedman di buku The World Is Flat bahwa globalisasi berkembang dalam tiga era, yaitu globalisasi 1.0, globalisasi 2.0 dan globalisasi 3.0.
Pertama kali muncul adalah globalisasi 1.0, yaitu merupakan globalisasi negara. Globalisasi web 1.0 dimanfaatkan untuk kepentingan Negara. Pemerintah dan lembaga terkait beperan penting sebagai pengguna dan pengembang teknologi komunikasi. Segala bentuk media teknologi komunikasi yang ketika itu masih web 1.0 yang masih bersifat satu arah, dimaksimalkan oleh Negara untuk mengirim informasi dalam bentuk elektronik mail antar negara ataupun antar pejabat kenegaraan.
Selanjutnya berkembang globalisasi 2.0, yang disebut sebagai era globalisasi perusahaan. Web 2.0 yang bersifat dua arah, telah menjadi bagian terpenting bagi perkembangan bisnis perusahaan. Aktivitas ekonomi komunikasi seperti perjanjian jual-beli, tawar menawar harga, promosi, pemasaran tidak hanya terjadi secara fisik, namun dapat dilakukan secara online dengan media internet. Sehingga kegiatan bisnis menjadi semakin luas tak terpancang jarak dan waktu. Sehingga mulai muncullah e-marketing, e-advertising, e-public relations, e-banking, sebagai bagian dari globalisasi 2.0.
Globalisasi 2.0 belum merata dirasakan hingga ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, namun kini sudah mulai muncul dan berkembang era globalisasi 3.0, Friedman menyebutnya sebagai globalisasi individu. Globalisasi 3.0 merupakan pemberdayaan individu, dimana individu sangat dimudahkan oleh kecanggihan web 3.0 (web semantik). Dalam hal ini web 3.0 dengan pintar dapat memprediksi, memberikan rekomendasi dan menyediakan berbagai aplikasi sesuai kebutuhan masing-masing individu, sehingga masing-masing individu tersebut dapat memiliki media untuk menyalurkan bakat minatnya dan semakin kreatif mengembangkan potensi pribadinya.
Globalisasi tidak hanya memberikan pengaruh kepada kehidupan masyarakat Indonesia, namun juga merata bagi masyarakat dunia. Tidak ada lagi batas-batas penghalang aktivitas komunikasi antarindividu ataupun kelompok. Globalisasi telah menjadi jendela dunia yang menyediakan berbagai informasi dari berbagai Negara di seluruh penjuru dunia. Berbagai macam informasi diproduksi dan dikonsumsi dari satu tempat ke tempat lain. Bagai pisau bermata dua, banyak hal positif dari pengaruh globalisasi, namun juga tidak sedikit hal negatif yang terkandung di dalamnya. Sehingga membutuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan kita untuk dapat menyaring informasi yang pantas dan tidak pantas untuk kita konsumsi.

Buku Acuan
Dominick, J. R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill, International Edition
Friedman, Thomas. (2005). The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century, Farrar Straus and Giroux (USA)
Littlejohn, S.W. (2010). Theories of Human Communication, Belmont, CA: Wadsworth
 Manovich, Lev. "New Media From Borges to HTML." The New Media Reader. Ed. Noah Wardrip-Fruin & Nick Montfort. Cambridge, Massachusetts, 2003. 13-25.
Toffler, Alvin. (1980). The Third Wave. Bantan Books (USA)





Thursday, 5 April 2018

As We May Think

Illustration by Rachel Levit

Like any people living in the age of information superhighway, sepertinya saya pun tak bisa lepas dari kebutuhan akan tautan informasi pada jaringan internet (world wide web). Keberadaan internet sudah menjadi bagian vital dalam hidup saya, kalau diibaratkan mungkin internet bagi saya sepertihalnya oksigen untuk bernafas dan air untuk saya minum, sevital itulah kira-kira (iya tahu, saya memang lebay :p). Karena merasa terbantu sekali dengan jaringan internet dan website, sayapun tertarik untuk mengulas salah satu artikel klasik karya Vannevar Bush tahun 1945, yang berhasil meramalkan kemunculan new media.
Adalah “As We May Think”, yaitu artikel klasik yang ditulis oleh Vannevar Bush tahun 1945 di majalah Atlantic Monthly. Bush menyebutkan bahwa manusia harus membangun peradabannya sendiri, manusia harus memesinkan segala catatannya, dimana manusia tak harus terkendala dengan ingatan pendeknya sendiri.
As We May Think telah menginspirasi terciptanya internet dan world wide web (website). Jauh sebelum internet ditemukan, Vannevar Bush dalam artikelnya tersebut telah memprediksi tingkah laku manusia ketika masuk era new media, baik itu dari sisi positif maupun negatifnya. Menurutnya, human mind bekerja berdasarkan asosiasi (assosiation). Dengan sebuah data (informasi) dipegang, maka ia akan meyambung dengan informasi berikutnya yang terasosiasi dengan data sebelumnya.
Siapa sih Vannevar Bush? Dia adalah seorang insinyur dan ilmuwan berkebangsaan Amerika yang dikenal karena pencapaiannya pada bidang komputasi analog. Ia menemukan 50 buah penemuan antara lain komputer analog yang ia beri nama Differential Analyzer (alat penganalisis aljabar tinggi), yang mampu menghitung persamaan aljabar tinggi. Tahun 1945 Bush menulis artikel berjudul As We May Think di majalah Atlantic Monthly, tulisannya tersebut sangat popular dan menjadi cikal bakal munculnya era new media.
As We May Think menjadi popular karena disebut-sebut sebagai artikel yang berhasil meramalkan beberapa jenis teknologi masa kini diantaranya : Hypertextpersonal computerinternetspeech recognition bahkan hingga ensiklopedia daring seperti Wikipedia. Dalam artikelnya, Bush mendeskripsikan sebuah mesin teoretis bernama Memex (Memory Extender), sebuah mesin mekanis yang berfungsi sebagai peranti penyimpanan dan pengambilan informasi.
Seperti ibarat otak manusia yang membentuk memori melalui asosiasi neuron, memex juga memanfaatkan teknologi microfilm sebagai media penyimpanan dimana pengguna dapat menghubungkan dokumen-dokumen yang tersimpan pada Memex.
Secara fisik memex dideskripsikan terdiri atas sebuah meja yang dilengkapi dengan layar, keyboard, tombol dan pengungkit (lever) serta tempat penyimpanan microfilm. Informasi yang tersimpan dalam microfilm dapat diakses dengan cepat dan ditampilkan melalui layar yang disediakan. Bush menyebut konsep ini sebagai “associative trails”, setiap trail nantinya dapat dilengkapi dengan komentar tambahan untuk memperjelas hubungan antar dokumen yang dihubungkan.
Ilustrasi bentuk Memex yang menggunakan meja, layar dan keyboard dapat dikatakan mirip dengan bentuk personal computer masa kini. Konsep Associative trail yang Bush usulkan mirip dengan teknologi hypertext yang muncul pada era 60-an, dan juga bentuk dari tautan informasi pada jaringan Internet (world wide web). Secara eksplisit Bush dalam artikel tersebut juga meramalkan dengan sangat dekat akan kemunculan ensiklopedia-ensiklopedia yang lengkap dengan “associative trail” dan dapat digabungkan satu sama lain, mirip dengan apa yang ditawarkan wikipedia saat ini.
Dalam artikelnya, Vannevar Bush juga mengungkapkan tentang keprihatinannya akan arah tujuan usaha penelitian di bidang sains lebih pada kehancuran, karena masa itu penelitian dipusatkan untuk pengembangan senjata dan strategi perang, dibandingkan untuk tujuan pemahaman dan mencari penjelasan rinci dengan mesin memori kolektif dengan konsep “memex”, yang akan membuat berbagai pengetahuan menjadi accessible, dan dapat membantu menyelesaikan berbagai permasalahan manusia.
Setelah perang dunia ke dua berakir, penelitian di bidang sains semakin dikembangkan. Demikian halnya dengan penelitian pada jaringan internet dan website juga semakin berkembang pesat. Seperti apa perkembangan dan dampak internet bagi dunia? akan saya tulis di tulisan saya selanjutnya 😉
Itulah sedikit tulisan tentang ‘As We May Think, artikel klasik yang ditulis oleh Vannevar Bush tahun 1945 di majalah Atlantic Monthly, yang memprediksi tingkah laku manusia ketika masuk era new media, hingga akhirnya prediksi tersebut menjadi nyata sejak jaringan internet dan website ditemukan tahun 1990an, dan semakin berkembang hingga sekarang.

FORMULA KEBERUNTUNGAN

The best luck of all is the luck you make for yourself (Douglas MacArthur)   Kita mungkin pernah tau bahwa di dunia ini ada jenis manusi...