Thursday, 25 October 2018

Welcome to Society

Welcome to society. We hope you enjoy your stay, and please feel free to be yourself. As long as it's in the right way. Make sure you love your body, not to much or we'll tear your down, We'll bully you for smiling, And then wonder why you frown (Kim Santiago)



Pernah gak sih kita mendapat komentar dari seseorang, “eh…kok lo gendutan sih sekarang? Anak gadis gak boleh gendut-gendut. Harus dikontrol makannya.” atau “Ih, kenapa potong rambut? Cewek kan lebih cantik kalau rambut panjang.” Stereotipe tentang perempuan cantik di Indonesia seringkali diidentikan sebagai perempuan yang memiliki tubuh langsing, rambut panjang dan kulit putih. Karenanya gak heran kalau wanita berlomba-lomba melakukan segala cara, mulai dari diet ketat, olah raga, rajin ke salon, agar  lulus mendapat predikat ‘cantik’ di mata masyarakat luas.  
Dari mana berbagai stereotipe tentang perempuan muncul? stereotipe muncul dan dikonstruksikan oleh lingkungan kita. Perempuan memang tak pernah lepas dari penilaian, dari konstruksi. Konstruksi ini pun merasuk dalam seni dan kebudayaan sehari-hari. Masih ingat lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci? Lukisan tersebut merupakan salah satu konstruksi perempuan pada masa Revolusi Industri. Sedangkan pada jaman modern ini konstruksi citra perempuan tergambar nyata dalam boneka Barbie, langsing, kaki jenjang, rambut panjang dan fashionable.
Berbagai macam produk kebudayaan dan seni, memproyeksikan pola pikir masyarakat pada tubuh perempuan. Pada rambut yang harus lurus dan panjang, pada mata yang harus lentik, pada bibir yang harus memerah ranum dan pada tubuh yang harus tinggi dan langsing. Nah, berbagai stereotipe terhadap perempuan tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media.
Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Siapa penguasa yang dimaksud? Pemilik modal, pengusaha berbagai macam produk-produk kecantikan, obat pelangsing, pemutih kulit, berbagai macam alat pelurus/pengriting rambut, dan masih banyak lagi bisnis di dalamnya. Althusser menyatakan bahwa media dalam konteks ideologi modern sebagai ideology state apparatus. Dalam hal ini media tidak hanya bersifat persuasif tetapi juga sebagai media propaganda yang melegitimasi fungsi dan ideology tertentu. Berarti media juga berperan mentransfer ideologi dominan terhadap kelompok sosial dominan.
Stereotipe yang telah dibesarkan oleh media yang melekat pada perempuan ini kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe ini melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Akibat terburuk dari stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan adalah, membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan identitas seseorang.
Dari keprihatinan dengan semakin banyaknya iklan ataupun media massa yang mengeksploitasi perempuan, maka muncullah gerakan di media sosial sebagai supporting campaign bagi perempuan di seluruh dunia untuk melawan eksploitasi perempuan dalam iklan dan media massa, yaitu : #notbuyingit
Dengan # (tanda tagar/hashtag) notbuyingit di media sosial twitter dan instagram, kampanye ini menyuarakan ketidaksetaraan gender, stereotipe dan diskriminasi terhadap perempuan dalam promosi atau iklan dengan mengobjektifitasikan tubuh wanita. Gerakan kampanye dengan tagar ini berhasil mencegah beberapa perusahaan (termasuk di Indonesia) untuk membuat iklan dengan mengobjektifikasi tubuh wanita.
Seperti halnya puisi Kim Santiago diatas, Make sure you love your body, not to much or they'll tear your down. Kita harus mencintai diri kita sendiri, harus mampu menjadi diri kita sendiri dan berkarakter. Jangan sampai stereotipe yang berkisar tentang kecantikan tersebut membuat kita membenci tubuh kita sendiri, dan mati-matian merubah diri kita menjadi apa yang dikonstruksikan oleh media dan lingkungan. Ingatlah bahwa setiap perempuan diciptakan cantik adanya, yang terpenting adalah, kita harus memiliki behavior yang bagus, berpendidikan, rajin olah raga dan menjaga kesehatan, otomatis kecantikan dari dalam akan terpancar dengan sendirinya.

Thursday, 18 October 2018

Perempuan dan Stereotipe Gender


Tinggal di kota besar dan lingkungan yang modern ternyata tidak menjamin pemikiran orang-orang di dalamnya juga maju, justru masih banyak yang memiliki stereotip konservatif di dalamnya. Overheard meja sebelah saat makan siang di sebuah restoran daerah Jakarta Pusat, “Perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi lah, apalagi ngejar karier. Nanti habis nikah juga tinggal di rumah, urus keluarga.” Kata seorang pria di meja sebelah, sambil tertawa. Pernahkah orang sekitarmu mengatakan hal tersebut? Kalau pernah, berarti lingkunganmu masih memiliki stereotipe konservatif mengenai perempuan.  
Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, perempuan masih banyak “terkekang” oleh berbagai stereotipe yang ada, tidak hanya di daerah, namun di kota-kota besar yang notabene masyarakatnya lebih modern ternyata masih juga memiliki stereotipe yang salah mengenai perempuan.
Kapan perempuan pertama kali mendapatkan stereotipe? sebagai orang yang mudah menangis, lemah, tidak mandiri, tidak perlu karier dan pendidikan tinggi? Sejak ia lahir dan mengenal lingkungannya, atau sejak lingkungan membentuknya pada konstruksi hierarki gender yang melekat? Stereotipe ini memproyeksikan pola pikir masyarakat terhadap perempuan.
Beruntung saya dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang sangat demokratis dan jauh dari berbagai stereotipe, saya dibebaskan untuk bersekolah dimanapun sampai tingkat manapun, dan bebas mengajar cita-cita apapun yang saya mau, termasuk masalah pilihan pendamping hidup dan pernikahan.  Namun, berapa banyak perempuan yang seberuntung itu dibesarkan di lingkungan yang terbebas dari berbagai macam stereotipe yang mengekangnya? Saya rasa tidak banyak.
Sebagian besar stereotip menghalangi kaum perempuan menjadi pribadi yang lebih mandiri, lebih berkembang dan bebas menjadi apa yang benar-benar dia inginkan. Sebagai contoh, meski tidak selalu terucap, namun anggapan kalau pendidikan dan karier itu hanya milik lelaki masih cukup kuat di Indonesia. Sementara perempuan nantinya akan mengurus rumah tangga yang artinya tidak perlu bersusah payah membangun karier. Lalu apakah anggapan tersebut benar? Tentunya tidak. Sebagai perempuan kamu berhak kok mengejar apapun mimpimu, termasuk soal karier. Entah itu bekerja di perusahaan besar, menjadi pekerja seni, entrepreneur, dan profesi lainnya selama kamu mau. Asalkan kamu mau melakukan tindakan nyata, karier cemerlang tak hanya jadi milik laki-laki tapi juga perempuan.
Gimana dengan Pendidikan? Well, menurut saya pendidikan itu jauh lebih penting dari apapun. Bukan cuma untuk mengejar karir. Pendidikan tinggi itu berguna membantumu mencari solusi saat ada masalah, mendidik anak, atau menolong lingkungan sekitar melakukan perubahan. Jadi terlepas akan berkarir atau tidak, pendidikan yang memadai wajib untuk setiap perempuan.
Sebagai penutup, saya ingat ayah saya pernah berpesan kepada saya seperti ini, “Mungkin dunia akan memandang kamu sebelah mata karena kamu perempuan, tapi yakinlah kamu lebih hebat dari apapun yang mereka pikirkan tentang kamu. Make me proud, even you are a woman. Don’t let people tell you who you are and who you can be.”


FORMULA KEBERUNTUNGAN

The best luck of all is the luck you make for yourself (Douglas MacArthur)   Kita mungkin pernah tau bahwa di dunia ini ada jenis manusi...