We Become What We Repeatedly Do
Waktu kecil dulu, ketika sedang menghadapi masalah, mungkin kita sering marah-marah karena jengkel. Marah menjadi pelampiasan emosi. Setelah marah, hati menjadi lebih lega. Lama-kelamaan, seperti candu, kitapun seakan terbiasa untuk menyelesaikan masalah dengan marah.
Ketika
sesuatu tidak sesuai dengan kehendak hati, kita marah, ketika orang lain
berbuat salah kepada kita, kita marah, ketika kita mendapati seseorang tidak
menepati janji, kita marah. Bahkan kadang kita marah tanpa sebab yang jelas.
Marah seakan-seakan sudah menjadi hal yang biasa dan wajar karena sudah terlalu
sering dipraktekkan dan menjadi kebiasan, kebiasaan kemudian membentuk karakter kita, yaitu
karakter pemarah. Sampai akhirnya kita
menjadi master of anger.
Seperti
halnya drama dalam kehidupan, tidak hanya master
of anger, bisa saja kita menjadi ‘master-master’ yang lainnya. Misalnya, master of sadness, karena kita terlalu
terbiasa menjadi seorang penyedih, terlalu sensitif. Segala sesuatu didramatisir,
seakan-akan menjadi makhluk yang paling sedih di muka bumi ini. Master of jealous, karena terlalu pencemburu.
Bahkan bisa cemburu dan curiga tanpa sebab. Master
of lying, karena terlalu
terbiasa dan ahli dalam berbohong. Dia akan menutupi kebohongan yang dia buat
dengan kebohongan-kebohongan yang lainnya, dan itu tak akan ada habisnya. Semakin
sering kita mempraktekkannya, kita menjadi semakin ahli melakukannya, hingga
akhirnya kita bisa disebut ‘master.’
Demikian
halnya dengan cinta (love), kita bisa disebut sebagai Master
of Love apabila kita ahli mempraktekkan ‘cinta’ dalam hidup
sehari-hari. Kuncinya agar kita semakin ahli adalah, kita harus semakin sering
mempraktekkannya dan semakin rutin. Apa saja yang perlu dipraktekkan? Yang perlu dipraktekkan
adalah komponen-komponen dari cinta itu sendiri, yaitu : Kesetiaan, kejujuran,
kepercayaan, intimasi, dan komunikasi. Jika kita bisa melakukannya
dengan berkesinambungan, tetap, dan bukan merupakan akting semata, maka kita
bisa disebut sebagai ‘master of love’.
Gampang
untuk diucapkan, namun sulit untuk dipraktekkan : Kesetiaan, kejujuran,
kepercayaan, intimasi, dan komunikasi. Mungkin sekilas terlihat klise, tapi
memang ke-5 hal tersebut menjadi dasar untuk harmonisnya sebuah hubungan,
hingga kita bisa disebut sebagai ‘master
of love’. Tentu saja dalam hal ini, dibutuhkan dua belah pihak untuk
berkomitmen menepati ke-5 hal tersebut. Kalau hanya satu pihak saja yang
mempraktekkannya, sedangkan pasangannya tidak, maka pasti ada pihak yang merasa
tersakiti. Misalnya saja, betapa mudahnya sebuah janji tak ditepati, betapa
mudahnya sebuah kepercayaan disalahgunakan, betapa kebohongan sudah menjadi hal
yang biasa dilakukan untuk menutupi kebohongan yang lain. Itulah
awal dari kehancuran hubungan.
Siapapun
pasti bisa menjadi master of love,
siapapun, tanpa kecuali, tidak harus seorang yang jago bikin puisi, atau pintar
merancang makan malam yang romantis, namun cukup berkomitmen mempraktekkan
komponen-komponen cinta yang telah disebutkan diatas tadi, secara rutin, setiap
hari, secara berkesinambungan. Hingga akhirnya kita pun semakin ahli, dan dapat
disebut sebagai ‘master of love.’
Mengutip
kata-kata Sean Covey, we become what we
repeatedly do. Jadi, lebih baik kita rutin melakukan hal-hal positif daripada
melakukan hal-hal negatif. Hal-hal positif akan menjadikan kebiasaan positif,
kebiasaan positif akan membentuk karakter positif. Karakter positif akhirnya
akan menjadikan jalan hidup kita pun positif. We become what we repeatedly do.
No comments:
Post a Comment