Sejak
kecil saya termasuk anak yang tidak jago menggambar dan sering mendapat nilai
60 dipelajaran menggambar. Saya masih ingat, waktu TK, di pelajaran menggambar,
ketika kebanyakan teman saya menggambar pemandangan, gunung
dengan jalan di tengahnya serta sawah yang membentang di kedua sisinya, justru
saya selalu menggambar hati, kemudian saya beri warna merah jambu. Entah kenapa
setiap kali disuruh menggambar, saya selalu menggambar hati.
Sampai
suatu ketika, guru saya menanyakan, mengapa saya selalu menggambar hati, saya
jawab karena saya suka ‘cinta’ dan hati adalah simbol cinta. Guru saya bertanya
lagi, dari mana saya tahu tentang hal itu, saya jawab dari majalah Bobo. Besuk
paginya, orang tua saya dipanggil ke sekolah karena jawaban saya itu.
Waktu
kecil saya memang selalu suka menggambar hati, dengan pikiran polos bahwa hati
adalah simbol cinta, saya suka cinta, karena cinta itu kedamaian, cinta itu
kebahagiaan, cinta itu pembawa semangat. Saya merasakan cinta itu di dalam
keluarga saya. Betapa seringnya orang tua saya, kakek nenek saya mengatakan
bahwa mereka mencintai saya, dan saya merasakan kedamaian dan kebahagiaan di
dalam lingkaran ‘cinta’ itu.
Seiring
saya bertambah dewasa, mulailah saya tahu, bahwa ‘cinta’ itu kompleks, cinta
memiliki makna yang luas dan universal. Cinta orang dewasa tidak sepolos dan
sesimple ‘cinta’ yang saya kenal waktu saya kecil dulu. Saya juga mulai tahu, bahwa selain gambar hati yang utuh, juga ada
gambar hati yang retak. Saya mulai tahu bahwa cinta tidak selamanya membawa
kedamaian dan kebahagiaan, bahwa cinta juga kadang posesif dan ingin memiliki,
bahwa cinta tidak selamanya berbalas, dan bahwa cinta tidak selamanya bersifat
abadi.
Seperti
yang saya pernah tulis di tulisan-tulisan saya sebelumnya, hidup adalah sebuah
proses, selalu berproses menjadi dan tak pernah berhenti. Memang idealnya,
dalam proses itu kita dapat selalu bertumbuh jadi pribadi baru yang lebih baik
dari hari ke hari. Demikian halnya dengan cinta, cinta pun juga berproses, idealnya
cinta dapat bertumbuh menjadi cinta yang lebih sempurna, namun terkadang
justru sebaliknya karena konflik dan
kesalahpahaman, ambisi dan ego pribadi, dalam proses itu, cinta justru berubah
menjadi benci atau bahkan justru saling menyakiti dan menjatuhkan satu sama lain.
Contohnya
adalah sebuah keluarga yang hancur karena perselingkuhan, berakhir di
perceraian, kemudian rebutan harta, dan salah satu pasangan meninggal karena
bunuh diri. Atau diberita juga sering kita dengar seorang remaja dibunuh
pacarnya karena berselingkuh. Cinta sedemikian cepatnya berubah menjadi kebencian. Seakan-akan
benci dan cinta itu satu paket. Mungkin benci adalah hadiah dari cinta.
Mungkin.
Seperti
biasa, seburuk apapun itu, saya lebih suka memandang sesuatu dari sisi
positifnya. Saya pun sampai sekarang lebih suka melihat ‘cinta’ seperti pikiran
polos saya waktu kecil, cinta itu kedamaian, cinta itu kebahagiaan, cinta itu
pembawa semangat, dan bukan sebaliknya. Bukan berarti selama proses kehidupan,
saya tidak pernah merasakan sakit ketika mencintai sesuatu atau seseorang,
namun dengan memberikan ‘cinta’ saya belajar banyak hal, dan justru itu semakin
menguatkan saya. Ketika cinta kita tak berbalas, maka saat itu kita belajar tentang
ketulusan, Ketika seseorang yang kita cintai meninggalkan kita, maka kita
sedang belajar keikhlasan, ketika orang yang kita cintai berada jauh dari kita, maka kita belajar tentang kesetiaan, ketika hati terluka sangat dalam, maka saat itu kita
belajar tentang memaafkan. Itulah yang dinamakan mencintai dengan
dewasa.
Yuk!
mari kita belajar mencintai dengan dewasa, dan akhirnya kita pun dapat merasakan
lingkaran cinta yang penuh kedamaian dan kebahagiaan dari orang-orang di
sekitar kita.
No comments:
Post a Comment