Kejadian yang sering kita jumpai adalah,
ketika seseorang membeli handphone
atau gadget baru, maka orang tersebut
akan langsung menyalakan alat tersebut, melihat-lihat aplikasinya, dan mencoba
mengoprasikannya, namun ketika handphone
tersebut tiba-tiba mati, maka kita akan bingung. Kita pun panik dan buru-buru
bertanya dengan teman atau orang yang dianggap paham dengan teknologi.
Kesalahan apa yang terjadi di sini? yaitu seharusnya kita membuka manualbook dari handphone atau gadget
tersebut, membaca isinya, memahami cara mengoprasikan alat tersebut, kemudian
baru menyalakan handphone atau gadget tersebut. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa betapa kurang budaya literasi kita. Kita lebih menyukai
mencari informasi secara instan dengan bertanya dengan orang (lisan) daripada
bersusah payah membaca manualbook terlebih
dengan bahasa yang rumit.
Sebagian dari kita mungkin akan lebih
paham ketika dijelaskan dengan kata-kata lisan daripada membaca sendiri. Hal
tersebut merupakan salah satu dasar dari perjalanan budaya kita. Sebelum budaya
literasi berkembang, telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat yaitu kebudayaan
lisan atau tutur. Dimana penyebaran informasi dan nilai-nilai moral disebarkan
dengan cara lisan. Biasanya dengan media dongeng, wayang, atau tembang. Walaupun
hanya dari mulut ke mulut, namun nilai-nilai moral tetap tetap terjaga teguh
dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya baru mulailah berkembang
budaya literasi ketika masyarakat sudah mulai mengenal dunia tulis-menulis dan
membaca. Sehingga, peraturan pemerintahan, adat-istiadat dan nilai-nilai
kehidupan dan moral, tidak hanya disebarkan dengan cara lisan, namun juga
tertuang dalam bentuk tulisan, dan terdokumentasi. Namun, ketika itu tulisan
yang dituangkan dalam buku/kitab belum menjadi media massa, buku masih menjadi
hal yang mahal, hanya kaum bangsawan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi
saja yang bisa memilikinya. Revolusi industri pada abad ke 18 menjadi tonggak
perubahan, sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat industri,
maka semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses buku. Perkembangan mesin
cetak juga turut menjadi faktor pendorong buku dan budaya literasi menjadi
lebih populer dan semakin dapat diakses oleh masyarakat di segala lapisan.
Di Indonesia sendiri, budaya literasi
mulai masuk ketika para pedagang dari India, Cina, dan Arab membawa budaya
tulis, melalui kitab-kitab keagamaan (Yosal : 2010). Kemudian budaya literasi
semakin berkembang ketika bangsa Eropa masuk ke Indonesia. Mereka mengenalkan
mesin cetak dan buku menjadi media massa. Sehingga saat itu budaya literasi
semakin berkembang ke segala lapisan masyarakat Indonesia, namun demikian
budaya lisan juga belum ditinggalkan oleh masyarakat.
Menurut Yosal, Budaya literasi di sini
berarti keberaksaan, yaitu kemampuan manusia untuk memahami tulisan dalam
bentuk menulis dan membaca. Kemampuan literasi ini menjadi penting karena
menuntut manusia untuk memiliki kebiasaan berpikir dengan proses membaca.
Pentingnya budaya literasi adalah, dengan membaca manusia semakin kaya akan
ilmu dan mimiki wawasan luas. Namun sayang, budaya membaca ini belum dimiki
oleh seluruh masyarakat. Ketika seseorang belum memiliki kebiasaan membaca,
maka membaca menjadi hal yang berat untuk dilakukan, sehingga membutuhkan waktu
atau proses untuk menumbuhkan kecintaan membaca.
Dalam hal ini, menurut Straubhaar membaca berarti melihat,
memperhatikan atau mengamati dan mempersepsi, suatu tulisan untuk mendapatkan
informasi. Ketika kita membaca, kita membutuhkan suatu alat agar sesuatu yang tertulis
tersebut dapat dibaca oleh orang lain, alat tersebut dinamakan teknologi media
baca. Sedangkan teknologi media baca sendiri terdiri dari dua, yaitu teknologi
media baca analog, dan teknologi media baca digital.
Teknologi media baca analog yaitu berwujud
cetak, bisa dilihat, diraba, ataupun dipegang, seperti yang kita kenal dan
biasa kita jumpai di rak-rak perpustakaan. Media baca analog terdiri dari buku
baik itu fiksi maupun non fiksi, koran cetak yang berisi berita, dan majalah
cetak yang bersifat informasi. Walaupun berwujud cetak dan datanya dalam bentuk
analog, namun buku, koran ataupun majalah masa kini dicetak juga menggunakan
mesin digital, yaitu menggunakan mesin cetak DocuTech yang menyerupai mesin
fotocopy raksasa yang langsung terhubung dengan komputer sebagai pengontrol.
Data kemudian dikirim, diolah dan diproses dan kemudian dicetak. Jadilah media
baca analog, yang bisa dipegang, diraba dan dilihat.
Media baca analog yang berupa buku-buku,
majalah ataupun koran tentu menyulitkan bagi masyarakat, selain harganya yang
mahal, juga akses untuk mendapatkannya sulit karena harus mencari ke toko buku
atau perpustakaan dahulu untuk mengakses informasinya. Sedangkan masyarakat
dengan berbagai aktivitas dan pekerjaan, juga tidak memiliki banyak waktu untuk
melakukan semua itu. Hal tersebut menjadikan minat literasi masyarakat juga
rendah. Masyarakat banyak yang tak tertarik untuk bersusah payah ke toko buku
dan membaca buku tebal.
Menyikapi kebutuhan manusia di era
informasi ini, lahirlah media baca digital yang bersifat lebih efisien dan
efektif. Teknologi media baca digital ini bersifat elektronik yaitu membutuhkan
aliran listrik, bersifat digital yaitu menggunakan konsep 0-1-0, dan online,
yaitu terkoneksi terus menerus. Hal tersebut membawa harapan baru akan
berkembangnya budaya literasi di Indonesia. Dengan lahirnya generasi e-book dan
e-magazine, masyarakat dapat mengakses informasi dari buku ataupun majalan
secara gratis, cukup hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja, maka kita
bisa mendapatkan informasi dari situs web dalam bentuk dokumen buku, kapan saja
dan dimana saja hanya dengan menggunakan handphone, ipad ataupun tab berbasis
android.
Untuk saat ini, banyak perusahaan media
massa cetak yang menerbitkan dua versi, yaitu media baca analog berupa cetak,
dan media baca digital berupa e-magazine, e-book, dan situs berita web. Hal
tersebut bagi penerbit media massa, secara positif tentu mengurangi biaya
produksi cetak media massa. Secara lingkungan juga mengurangi penggunaan kertas
sehingga penebangan pohon juga berkurang.
Adanya media baca digital dan didukung
infrastruktur media yang memadai, maka hal tersebut dapat mendukung upaya untuk
mencerdaskan bangsa dan membuka wawasan bagi daerah yang terisolir sekalipun.
Bagi masyarakat di pelosok daerah yang sulit mendapatkan akses buku-buku
memadahi, dengan mudah dapat memperoleh akses buku dan informasi dari media
digital. Dengan satu klik saja, maka mereka dapat mengetahui sejarah berdirinya
PBB, tanpa harus mencari-cari buku di perpustakaan ataupun di toko buku. Media
baca digital tersebut juga menyetarakan informasi yang didapat antara
masyarakat perkotaan dengan masyarakat yang tinggal di pelosok Indonesia,
sehingga tidak ada lagi kesenjangan informasi.
Generasi teknologi media baca digital ini,
diharapkan dapat semakin menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya literasi. Cara
untuk menumbuhkan budaya membaca, salah satunya yaitu teknologi media baca
digital memberikan kemudahan falitas dengan dapat memperoleh kemudahan akses,
yaitu cukup dengan mencarinya di situs web dimanapun dan kapanpun juga; cepat
dalam mendapatkan informasi dan tidak perlu tempat yang besar untuk penyimpanan
dokumennya, cukup disimpan di USB ataupun di drop box; mendapatkan informasinya
gratis tanpa biaya; sifatnya yang lebih visual dan kaya warna membuat lebih
enak untuk dibaca dan mudah dimengerti.
BukuAcuan
Dominick, J. R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in
the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill, International Edition
Iriantara, Yosal. (2010). Literasi
Media : Apa, Mengapa, Bagaimana. Simbiosa Rekatama Media.
Mirabito, M.A.M & Morgenstern, B.L. (2004). The New Communications Technology:
Applications, Policy, and Impact. Fifth Edition. Focal Press
Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media,
Culture, and Technology, 2011
Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
No comments:
Post a Comment