Wednesday, 11 June 2014

Menari Adalah Hidup Bagi Kami

(Diambil dari tulisan saya di majalah PASTI 2010)
Tubuhnya melenggak-lenggok mengikuti alunan musik. Baju dan dandanan khas yang mereka kenakan menggambarkan kegagahan dan keangkuhan. Siapa sangka, di balik topeng dan dandanan gagahnya, terselip suatu kisah hidup yang elok dan patut untuk di tilik.
            Di sinilah mereka berkarya, bukan di panggung pertunjukan yang megah dan berAC, namun hanya di perempatan jalan yang penuh polusi dan teramat panas. Tidak ada tepuk tangan riuh penonton yang mengelu-elukan mereka, yang ada hanya raut muka tak bersahabat dari para pengguna jalan. Walaupun demikian, mereka akan terus menari, tak peduli peluh keringat yang terus mengalir, tak peduli perut yang sudah mulai keroncongan, adalah karena mereka merupakan kepala keluarga yang harus bertanggung jawab dan mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, karena mereka ingin turut melestarikan budaya, dan karena mereka adalah para penari Jathilan.
            “Kami melakukanya dengan senang, kami mencintai pekerjaan ini.”Jawab Sukir sambil tersenyum, saat di tanya alasan dia tetap bertahan menjadi penari Jathilan. Laki-laki 35 tahun ini merupakan salah satu penari Jathilan yang berasal dari Bojonegoro, Temanggung, yang mencoba peruntungan menjadi penari Jathilan di Jogja. Ia sudah satu tahun bertahan menjadi penari Jathilan jalanan, bersama Budi, adiknya, dan Widi, tetangganya yang baru berusia 19 tahun.
            Kos-kosan kecil berukuran 3x4 meter, di daerah Ketandan, yang mereka tempati seakan menggambarkan penghasilan mereka sebagai penari Jathilan jalanan tak seberapa. Kamar kos yang di sewa seratus lima puluh ribu rupiah sebulan itu mereka tempati bertiga. Di ruangan sempit itu penuh dengan kostum-kostum dan peralatan tari mereka yang di gantung di dinding dan sebagian di letakkan begitu saja di pojok ruangan. Tidak ada radio, TV, atupun barang-barang mewah lainnya, bahkan kasur dan bantalpun tak ada. Mereka hanya tidur beralaskan karpet tipis berwarna biru yang sudah berlubang di sana-sini.
            “Ya beginilah kami. Hidup serba pas-pasan. Tapi kami tetap bersyukur bisa mencari uang halal dengan menari Jathilan di perempatan jalan.”Ungkap Budi.
Dalam sehari, pendapatan bersih mereka menjadi penari Jathilan adalan tiga puluh ribu rupiah. Walaupun kecil dan sangat pas-pasan untuk mencukupi kehidupan keluarga mereka di Temanggung, namun mereka hanya ingin menunjukkan bahwa kesenian mereka belum mati, mereka masih ada, meskipun hanya di pertontonkan di jalanan.
Jathilan sudah menjadi bagian hidup Sukir, Budi, dan Widi. Sejak dari kecil mereka sudah bisa menari Jathilan. Warga Temanggung ini juga mengikuti perkumpulan tari Jathilan di Desanya. Di daerah Temanggung tarian tersebut memang bukan hal yang asing lagi. Jathilan diminati oleh semua usia, dari anak kecil hingga orang tua. Namun di daerah tersebut, Jathilan tidak untuk tujuan komersial, hanya sebatas untuk mengisi acara-acara adat seperti tahun baru Jawa, perayaan 17-an, dan juga bersih desa.
Karena di Temanggung tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, dan penghasilan yang memadai, maka Sukir mempunyai ide untuk merantau ke Jogja, dan mencari uang sebagai penari Jathilan di perampatan jalan.
“Waktu itu saya yakin, kalau di Jogja kami pasti bisa mendapat penghasilan lebih. Keluarga kami pun mendukung niat kami untuk bekerja sebagai penari Jathilan di kota Jogja.”Kata Sukir lagi.
Kenyataannya, semua tidak semudah yang mereka bayangkan. Pekerjaan sebagai penari Jathilan jalanan di Jogja mempunyai banyak resiko, selain persaingan dengan sesama penari, juga ‘kucing-kucingan’ dengan para  satuan polisi pamong praja (satpol-pp) sangat merepotkan dan membuat was-was.
Bagaimana tidak, sudah beberapa kali Sukir tertangkap oleh satpol pp saat dirinya sedang menari di perempatan jalan. Tidak hanya denda kurungan satu hari, namun juga peralatan Jathilan, seperti kendang dan kenong juga di sita oleh polisi pamong praja.
“Kami tahu kami salah, karena seharusnya kami memang tidak boleh menari di perempatan jalan, tapi mau gimana lagi, selain menari Jathilan, kami tidak punya keahlian apa-apa lagi. Wong kami Cuma lulusan SD.”Budi, laki-laki tinggi berkulit hitam itu mengungkapkan.
Belajar dari pengalaman, mereka kini lebih berhati-hati saat menari Jathilan di perempatan jalan. Ketika polisi pamong praja mulai menjalankan tugas ‘mulianya’, yaitu membersihkan jalan dari pengamen jalanan dan pengemis, kira-kira sekitar pukul 11 siang hingga pukul 12, Sukir, Budi dan Widi tidak menari di jalan. Mereka menggunakan waktu itu untuk makan siang dan mengumpulkan energi.
Sedangkan untuk persaingan, di Jogja sendiri sudah banyak penari Jathilan di perempatan jalan. Mereka biasanya menari di perempatan Janti, Giwangan, Gejayan, dan Maguoharjo. “Pernah kami selama satu hari tidak mendapatkan penghasilan sama sekali, karena sudah keduluan penari lain. Ya sudah, karena di setiap perempatan sudah ada penarinya semua, akhirnya kami pulang tanpa hasil apa-apa.”Kata Sukir sambil merubah posisi  duduknya.
Pahit-manisnya menjadi penari Jathilan jalanan akan menjadi warna bagi kehidupan Sukir, Budi dan Widi. Walaupun pendapatannya tidak seberapa, namun mereka tetap menjalankan pekarjaan ini dengan senyuman. “ Buat kami, rejeki sudah ada yang ngatur, jadi kerjaan apa aja juga sama saja bagi kami, semua ada baik dan buruknya. Termasuk nari Jathilan, dinikmatin saja, karena menari adalah hidup bagi kami.”Widi menambahkan.
Dan pagi ini, tepat pukul 6 mereka sudah mulai merias wajah dan bersiap untuk menari di perempatan jalan. Tidak ada sarapan pagi, kopi ataupun teh hangat sebagai penyemangat pagi. Mereka harus cepat-cepat berangkat agar tempat tidak di dahului oleh penari Jathilan yang lainnya. Sekitar pukul delapan, mereka selesai berdandan, dan dengan bis kota mereka menuju perempatan Janti, untuk tujuan hari ini. Kurang lebih sekitar delapan jam mereka akan membawakan tari Jathilan di perempatan padat kendaraan itu, dengan harapan “Hari ini kami bisa mendapat lebih banyak rejeki dari pada hari kemarin.”Kata Widi dengan pandangan menerawang.

No comments:

Post a Comment

FORMULA KEBERUNTUNGAN

The best luck of all is the luck you make for yourself (Douglas MacArthur)   Kita mungkin pernah tau bahwa di dunia ini ada jenis manusi...