(Diambil dari tulisan
saya di majalah PASTI 2010)
Tubuhnya melenggak-lenggok
mengikuti alunan musik. Baju dan dandanan khas yang mereka kenakan
menggambarkan kegagahan dan keangkuhan. Siapa sangka, di balik topeng dan
dandanan gagahnya, terselip suatu kisah hidup yang elok dan patut untuk di
tilik.
“Kami melakukanya dengan senang,
kami mencintai pekerjaan ini.”Jawab Sukir sambil tersenyum, saat di tanya alasan
dia tetap bertahan menjadi penari Jathilan. Laki-laki 35 tahun ini merupakan
salah satu penari Jathilan yang berasal dari Bojonegoro, Temanggung, yang
mencoba peruntungan menjadi penari Jathilan di Jogja. Ia sudah satu tahun
bertahan menjadi penari Jathilan jalanan, bersama Budi, adiknya, dan Widi,
tetangganya yang baru berusia 19 tahun.
Kos-kosan kecil berukuran 3x4 meter,
di daerah Ketandan, yang mereka tempati seakan menggambarkan penghasilan mereka
sebagai penari Jathilan jalanan tak seberapa. Kamar kos yang di sewa seratus
lima puluh ribu rupiah sebulan itu mereka tempati bertiga. Di ruangan sempit
itu penuh dengan kostum-kostum dan peralatan tari mereka yang di gantung di
dinding dan sebagian di letakkan begitu saja di pojok ruangan. Tidak ada radio,
TV, atupun barang-barang mewah lainnya, bahkan kasur dan bantalpun tak ada.
Mereka hanya tidur beralaskan karpet tipis berwarna biru yang sudah berlubang
di sana-sini.
“Ya beginilah kami. Hidup serba
pas-pasan. Tapi kami tetap bersyukur bisa mencari uang halal dengan menari
Jathilan di perempatan jalan.”Ungkap Budi.
Dalam
sehari, pendapatan bersih mereka menjadi penari Jathilan adalan tiga puluh ribu
rupiah. Walaupun kecil dan sangat pas-pasan untuk mencukupi kehidupan keluarga
mereka di Temanggung, namun mereka hanya ingin menunjukkan bahwa kesenian
mereka belum mati, mereka masih ada, meskipun hanya di pertontonkan di jalanan.
Jathilan
sudah menjadi bagian hidup Sukir, Budi, dan Widi. Sejak dari kecil mereka sudah
bisa menari Jathilan. Warga Temanggung ini juga mengikuti perkumpulan tari
Jathilan di Desanya. Di daerah Temanggung tarian tersebut memang bukan hal yang
asing lagi. Jathilan diminati oleh semua usia, dari anak kecil hingga orang
tua. Namun di daerah tersebut, Jathilan tidak untuk tujuan komersial, hanya
sebatas untuk mengisi acara-acara adat seperti tahun baru Jawa, perayaan 17-an,
dan juga bersih desa.
Karena
di Temanggung tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, dan penghasilan yang
memadai, maka Sukir mempunyai ide untuk merantau ke Jogja, dan mencari uang
sebagai penari Jathilan di perampatan jalan.
“Waktu
itu saya yakin, kalau di Jogja kami pasti bisa mendapat penghasilan lebih.
Keluarga kami pun mendukung niat kami untuk bekerja sebagai penari Jathilan di
kota Jogja.”Kata Sukir lagi.
Kenyataannya,
semua tidak semudah yang mereka bayangkan. Pekerjaan sebagai penari Jathilan
jalanan di Jogja mempunyai banyak resiko, selain persaingan dengan sesama
penari, juga ‘kucing-kucingan’ dengan para
satuan polisi pamong praja (satpol-pp) sangat merepotkan dan membuat
was-was.
Bagaimana
tidak, sudah beberapa kali Sukir tertangkap oleh satpol pp saat dirinya sedang
menari di perempatan jalan. Tidak hanya denda kurungan satu hari, namun juga
peralatan Jathilan, seperti kendang dan kenong juga di sita oleh polisi pamong
praja.
“Kami
tahu kami salah, karena seharusnya kami memang tidak boleh menari di perempatan
jalan, tapi mau gimana lagi, selain menari Jathilan, kami tidak punya keahlian
apa-apa lagi. Wong kami Cuma lulusan SD.”Budi, laki-laki tinggi berkulit hitam
itu mengungkapkan.
Belajar
dari pengalaman, mereka kini lebih berhati-hati saat menari Jathilan di
perempatan jalan. Ketika polisi pamong praja mulai menjalankan tugas
‘mulianya’, yaitu membersihkan jalan dari pengamen jalanan dan pengemis, kira-kira
sekitar pukul 11 siang hingga pukul 12, Sukir, Budi dan Widi tidak menari di
jalan. Mereka menggunakan waktu itu untuk makan siang dan mengumpulkan energi.
Sedangkan
untuk persaingan, di Jogja sendiri sudah banyak penari Jathilan di perempatan
jalan. Mereka biasanya menari di perempatan Janti, Giwangan, Gejayan, dan
Maguoharjo. “Pernah kami selama satu hari tidak mendapatkan penghasilan sama
sekali, karena sudah keduluan penari lain. Ya sudah, karena di setiap
perempatan sudah ada penarinya semua, akhirnya kami pulang tanpa hasil
apa-apa.”Kata Sukir sambil merubah posisi
duduknya.
Pahit-manisnya
menjadi penari Jathilan jalanan akan menjadi warna bagi kehidupan Sukir, Budi
dan Widi. Walaupun pendapatannya tidak seberapa, namun mereka tetap menjalankan
pekarjaan ini dengan senyuman. “ Buat kami, rejeki sudah ada yang ngatur, jadi
kerjaan apa aja juga sama saja bagi kami, semua ada baik dan buruknya. Termasuk
nari Jathilan, dinikmatin saja, karena menari adalah hidup bagi kami.”Widi
menambahkan.
Dan
pagi ini, tepat pukul 6 mereka sudah mulai merias wajah dan bersiap untuk
menari di perempatan jalan. Tidak ada sarapan pagi, kopi ataupun teh hangat
sebagai penyemangat pagi. Mereka harus cepat-cepat berangkat agar tempat tidak
di dahului oleh penari Jathilan yang lainnya. Sekitar pukul delapan, mereka
selesai berdandan, dan dengan bis kota mereka menuju perempatan Janti, untuk
tujuan hari ini. Kurang lebih sekitar delapan jam mereka akan membawakan tari
Jathilan di perempatan padat kendaraan itu, dengan harapan “Hari ini kami bisa
mendapat lebih banyak rejeki dari pada hari kemarin.”Kata Widi dengan pandangan
menerawang.
No comments:
Post a Comment