Tuesday, 17 June 2014

Untold Story

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ia membuat sesuatu indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:1, 3:11)

Seperti hanya bermain pazzel, hidup pun bagi saya seperti menyusun pola-pola pazzel kehidupan. Antara kejadian satu dengan yang lain saling berhubungan satu sama lain, namun kadang sulit kita mengerti dan kita pahami. Kadang kita bertanya, mengapa kejadian itu terjadi? Apa sebenarnya yang Tuhan kehendaki? lebih-lebih apabila kejadian tersebut sangat berat bagi kita. Sampai di suatu titik, kelak kita akan sadar bahwa rencana Tuhan tak akan pernah salah.
Saya sempat mengalami, dimana saya berada dititik terlemah dalam hidup saya, yaitu saya kehilangan orang yang sangat saya sayangi. Dia cinta pertama saya, bahkan ketika saya belum mengenal arti cinta sesungguhnya. Dia penopang hidup saya, penolong saya ketika saya jatuh, penghibur saya ketika saya menangis, guru, pembimbing dan teladan hidup saya. Ya! dia adalah Ayah saya. Saya telah kehilangan dia selama-lamanya. Tuhan memanggil ayah saya satu tahun yang lalu (2013).
Dunia saya yang semula lengkap dan penuh warna, mendadak menjadi kelabu. Semua terjadi begitu cepat. Waktu itu tanpa firasat apapun, tepat tanggal 4 Juni 2013 pagi hari, saya yang waktu itu sedang berada di kantor, diberi kabar oleh ibu saya bahwa Ayah saya masuk rumah sakit karena serangan jantung. Sayapun segera meninggalkan kantor saya yang berada di Jogja dan berangkat ke Rumah Sakit Dr. Moewardi Solo bersama adik dan saudara-saudara saya.
Sementara itu, kondisi Ayah saya semakin memburuk, kondisinya kritis, sekujur tubuh Ayah sudah lemas dan dingin, tekanan darah drop, detak jantung turun. Ibu saya seorang diri menemani Ayah saya diruang ICU. Saya tahu bagaimana perasaannya saat itu, melihat orang yang sangat dicintainya sedang berjuang melawan maut.
Saat itu, saya merasakan perjalanan dari Jogja ke Solo menjadi perjalanan terlama yang pernah saya lalui. Semakin lama perasaan saya semakin tak tenang. Setiap kali ada telpon masuk, saya semakin lemas. Saya ketakutan. Pikiran saya tak menentu. Saya takut, hal yang paling saya takutkan di dunia ini terjadi, yaitu kehilangan orang tua saya. Saya belum siap untuk kehilangan dia.
Saya mulai sibuk dengan pikiran saya, sampai tak sadar bahwa mobil berputar arah, yang semula menuju Rumah Sakit, ternyata menuju rumah saya. Sesampainya di depan rumah, saya sangat kaget karena sudah banyak karangan bunga duka cita di depan rumah saya, banyak sekali orang mengenakan pakaian hitam. Suara tangis bersahutan terdengar. Dan detik itu saya sadar, bahwa saya telah kehilangan Ayah saya untuk selama-lamanya.
Ayah meninggal tanpa meninggalkan pesan apapun bagi saya, adik saya ataupun Ibu saya. Sedih ketika saat-saat terakhir, saya tidak berada di samping Ayah saya.  Saya belum sempat memberikan pelukan terakhir saya, dan mengatakan betapa saya sangat mencintai Ayah saya. Saya belum sempat minta maaf atas segala kesalahan saya. Saya belum sempat berterima kasih atas cinta, kasih sayang, perhatian, bimbingan, ataupun materi dan segala hal yang telah Ayah berikan untuk saya dan adik saya.
Memang terasa sangat berat, kehilangan Ayah. Saya sempat berada di masa-masa sulit, dimana saya kehilangan arah, tidak ada lagi penopang dalam hidup saya. Tidak ada lagi tempat berbagi suka dan duka. Impian saya untuk diantarkan Ayah saya ke depan altar perkawinan pun juga harus berakhir. Dunia saya terasa sepi dan tidak lengkap lagi. Ayah sudah berada di ruang dan waktu yang berbeda. Sulit menerima kenyataan ini.
Seperti halnya menyusun pazzel, saya pun mulai menemukan kepingan-kepingan pazzel yang lainnya. Saya memutuskan untuk pindah kantor ke Jakarta. Dulu, mungkin saya bertanya-tanya apa sebenarnya kehendak Tuhan? apa tujuan Tuhan menuntun saya meninggalkan tempat yang satu dan menaruh saya ke tempat yang lain? apa tujuan Tuhan untuk mempertemukan saya dengan orang yang satu dan memisahkan saya dengan orang yang lain? Namun kini saya mengerti, bahwa rencana Tuhan tak pernah salah. Dari kesedihan dan kehilangan, saya belajar untuk menjadi manusia yang lebih kuat dan sabar. Bahkan, tak pernah terpikir sebelumnya bahwa saya sanggup melewati ini semua dengan baik. Kuncinya adalah jangan meneyerah. Jangan sekali-kali menyerah. Untuk perkara besar ataupun kecil. Jangan menyerah. Percayalah pasti akan selalu ada pelangi setelah badai hebat.
Saya yakin, orang sebaik Ayah pasti di terima di sisi Tuhan. Dalam berbagai kesempatan, siapapun yang sempat mengenal ayah, pasti tak menyangsikan kebaikan dan kemurahan hatinya. Semoga saya dapat meneladan sikap baik Ayah, dan dapat menjadi pribadi yang lebih kuat, sabar dan ikhlas dari hari ke hari.
Satu hal lagi, saya percaya apapun itu sebutanNya, diatas sana ada yang mengatur hidup kita, dan dia amat baik. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, pandanglah bahwa itu semata-mata karena cintaNya kepada kita, untuk menjadi kan kita pribadi yang lebih baik dan hebat dimataNya.
My Father Vitus Soejito



No comments:

Post a Comment

FORMULA KEBERUNTUNGAN

The best luck of all is the luck you make for yourself (Douglas MacArthur)   Kita mungkin pernah tau bahwa di dunia ini ada jenis manusi...