Untuk segala sesuatu ada
masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ia membuat sesuatu indah
pada waktunya (Pengkhotbah 3:1, 3:11)
Saya sempat mengalami,
dimana saya berada dititik terlemah dalam hidup saya, yaitu saya kehilangan
orang yang sangat saya sayangi. Dia cinta pertama saya, bahkan ketika saya
belum mengenal arti cinta sesungguhnya. Dia penopang hidup saya, penolong saya
ketika saya jatuh, penghibur saya ketika saya menangis, guru, pembimbing dan
teladan hidup saya. Ya! dia adalah Ayah saya. Saya telah kehilangan dia
selama-lamanya. Tuhan memanggil ayah saya satu tahun yang lalu (2013).
Sementara itu, kondisi
Ayah saya semakin memburuk, kondisinya kritis, sekujur tubuh Ayah sudah lemas
dan dingin, tekanan darah drop, detak jantung turun. Ibu saya seorang diri
menemani Ayah saya diruang ICU. Saya tahu bagaimana perasaannya saat itu,
melihat orang yang sangat dicintainya sedang berjuang melawan maut.
Saat itu, saya merasakan perjalanan dari Jogja ke Solo menjadi perjalanan terlama yang pernah saya lalui. Semakin lama perasaan saya semakin tak tenang. Setiap kali ada telpon masuk, saya semakin lemas. Saya ketakutan. Pikiran saya tak menentu. Saya takut, hal yang paling saya takutkan di dunia ini terjadi, yaitu kehilangan orang tua saya. Saya belum siap untuk kehilangan dia.
Saat itu, saya merasakan perjalanan dari Jogja ke Solo menjadi perjalanan terlama yang pernah saya lalui. Semakin lama perasaan saya semakin tak tenang. Setiap kali ada telpon masuk, saya semakin lemas. Saya ketakutan. Pikiran saya tak menentu. Saya takut, hal yang paling saya takutkan di dunia ini terjadi, yaitu kehilangan orang tua saya. Saya belum siap untuk kehilangan dia.
Saya mulai sibuk dengan
pikiran saya, sampai tak sadar bahwa mobil berputar arah, yang semula menuju
Rumah Sakit, ternyata menuju rumah saya. Sesampainya di depan rumah, saya
sangat kaget karena sudah banyak karangan bunga duka cita di depan rumah saya,
banyak sekali orang mengenakan pakaian hitam. Suara tangis bersahutan terdengar.
Dan detik itu saya sadar, bahwa saya telah kehilangan Ayah saya untuk
selama-lamanya.
Ayah meninggal tanpa
meninggalkan pesan apapun bagi saya, adik saya ataupun Ibu saya. Sedih ketika
saat-saat terakhir, saya tidak berada di samping Ayah saya. Saya belum sempat memberikan pelukan terakhir
saya, dan mengatakan betapa saya sangat mencintai Ayah saya. Saya belum sempat
minta maaf atas segala kesalahan saya. Saya belum sempat berterima kasih atas
cinta, kasih sayang, perhatian, bimbingan, ataupun materi dan segala hal yang
telah Ayah berikan untuk saya dan adik saya.
Memang terasa sangat
berat, kehilangan Ayah. Saya sempat berada di masa-masa sulit, dimana saya
kehilangan arah, tidak ada lagi penopang dalam hidup saya. Tidak ada lagi
tempat berbagi suka dan duka. Impian saya untuk diantarkan Ayah saya ke depan
altar perkawinan pun juga harus berakhir. Dunia saya terasa sepi dan tidak
lengkap lagi. Ayah sudah berada di ruang dan waktu yang berbeda. Sulit menerima
kenyataan ini.
Seperti halnya menyusun
pazzel, saya pun mulai menemukan kepingan-kepingan pazzel yang lainnya. Saya
memutuskan untuk pindah kantor ke Jakarta. Dulu, mungkin saya bertanya-tanya
apa sebenarnya kehendak Tuhan? apa tujuan Tuhan menuntun saya meninggalkan
tempat yang satu dan menaruh saya ke tempat yang lain? apa tujuan Tuhan untuk
mempertemukan saya dengan orang yang satu dan memisahkan saya dengan orang yang
lain? Namun kini saya mengerti, bahwa rencana Tuhan tak pernah salah. Dari
kesedihan dan kehilangan, saya belajar untuk menjadi manusia yang lebih kuat
dan sabar. Bahkan, tak pernah terpikir sebelumnya bahwa saya sanggup melewati
ini semua dengan baik. Kuncinya adalah jangan meneyerah. Jangan sekali-kali
menyerah. Untuk perkara besar ataupun kecil. Jangan menyerah. Percayalah pasti akan
selalu ada pelangi setelah badai hebat.
Saya yakin, orang
sebaik Ayah pasti di terima di sisi Tuhan. Dalam berbagai kesempatan, siapapun
yang sempat mengenal ayah, pasti tak menyangsikan kebaikan dan kemurahan
hatinya. Semoga saya dapat meneladan sikap baik Ayah, dan dapat menjadi pribadi
yang lebih kuat, sabar dan ikhlas dari hari ke hari.
Satu hal lagi, saya
percaya apapun itu sebutanNya, diatas sana ada yang mengatur hidup kita, dan
dia amat baik. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, pandanglah bahwa itu
semata-mata karena cintaNya kepada kita, untuk menjadi kan kita pribadi yang
lebih baik dan hebat dimataNya.
![]() |
My Father Vitus Soejito |
No comments:
Post a Comment